Other Recent Articles

10 Faedah Seputar Akhbar Ulama

By Unknown on Thursday 16 August 2012 0 comments

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi hafizhahullah

I. SAAT SAKAROTUL MAUT

Abu Ja’far at-Tustari rahimahullah berkata: “Saya menghadiri Abu Zur’ah ar-Rozi rahimahullah ketika dia sedang dalam sakarotul maut. Di sisinya ada Abu Hatim, Muhammad bin Muslim, Mundzir bin Syadzan dan sekelompok ulama lainnya, mereka menyebut hadits talqin dan hadits:

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Talqinlah orang yang akan meninggal di antara kalian: Laa llaha Illa Alloh [HR. Muslim: 916]

Mereka malu [segan] untuk mentalqin Abu Zur’ah, akhirnya mereka berkata: “Mari kita menyebut hadits ini dengan sanadnya.”  Muhammad bin Muslim berkata: “Menceritakan kepada kami Dhohak bin Makhlad dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Sholih dan dia tidak meneruskannya. Abu Hatim menggantinya: “Menceritakan kepada kami Bundar, menceritakan kami Abu Ashim dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Sholih, tetapi beliau juga tidak meneruskannya. Orang- orang lainnya diam.
Saat itu, Abu Zur’ah yang tengah sakarotul maut berkata: “Menceritakan kepada kami Bundar, menceritakan kami Abu Ashim dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Sholih bin Abi ‘Arib dari Katsir bin Murroh al-Hadzromi dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu'anhu beliau berkata: “Rosululloh Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Barangsiapa akhir ucapannya adalah Laa llaha lila Alloh, maka dia akan masuk surga.
Setelah itu, Abu Zur’ah rahimahullah langsung meninggal dunia. Maka rumah pun ramai dengan tangisan manusia yang hadir saat itu. (Tarikh Baghdad, al-Khoth’ib al-Baghdadi 10/335).

II. INGKARUL MUNKAR

Ketika Sulaiman bin Mihran al-A’masy memasuki kota Bashroh, dia mendapati seorang tukang cerita di masjid yang berkata:

“Menceritakan kami al-A’masy dari Abu Ishaq!! Menceritakan kami al-A’masy dari Abu Waill!” Mendengar hal itu, maka dia (al-A’masy) langsung ke tengah pengajian sambil mengangkat tangan lalu mencabut bulu ketiaknya!

Tukang cerita itu berkata: “Wahai Syaikh, apakah engkau tidak punya rasa malu?! Kita dalam pengajian, tetapi kamu berbuat seperti ini?!” al-A’masy menjawab: “Apa yang saya lakukan ini lebih baik daripada apa yang kamu lakukan.” Orang itu berkata: “Bagaimana bisa begitu?” Jawab al-A’masy: “Ya, karena saya melakukan sunnah, sedangkan kamu berdusta. Saya adalah al-A’masy, saya tidak pernah menceritakanmu seperti ini sedikitpun!” Tatkala manusia mendengar hal itu, maka mereka meninggalkan tukang cerita tersebut dan berkumpul di sekitar al-A’masy lalu berkata: “Ceritakanlah kepada kami wahai al-A’masy.” (al-Hawadits wal Bida’, ath-Thurtusyi hlm. 111-112)

3. CERDAS DALAM FATWA

Ketika ditemukan alat pengeras suara terjadi pro dan kontra tentang hukumnya. Namun Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dengan tegarnya berkhotbah menegaskan bahwa hal ini termasuk suatu kenikmatan yang harus disyukuri.[1]

Suatu ketika, ada seorang berkaca mata mengatakan kepada Syaikh as-Sa’di rahimahullah dengan nada mengingkari: “Pengeras suara adalah perkara baru, buatan non muslim, kita tidak perlu menggunakannya.” Mendengarnya, Syaikh as-Sa’di mendekati orang tersebut lalu melepas kaca matanya, kemudian beliau bertanya: “Apakah kamu bisa melihat dengan jelas?” Jawabnya: “Tidak.” Syaikh-pun lalu mengembalikan kaca matanya, kemudian bertanya: “Kalau sekarang bagaimana?.” Jawabnya: “Kalau sekarang, saya bisa melihat dengan jelas.”

Ketika itu, beliau berkata: “Wahai saudaraku, bukankah kamu tahu bahwa kaca mata dapat membuat sesuatu yang jauh menjadi dekat dan memperjelas pandangan, demikian juga halnya pengeras suara, dia memperjelas suara, sehingga seorang yang jauh dapat mendengar, para wanita di rumah juga bisa mendengar dzikrulloh dan majlis-majlis ilmu. Jadi, mikrofon merupakan kenikmatan Alloh Subhanahu wa ta'ala kepada kita, maka hendaknya kita menggunakannya untuk menyebarkan kebenaran.” [Mawaqif Ijtima'iyyah Min Hayatis Syaikh Abdurrohman as-Sa'di, Muhammad as-Sa'di dan Musa'id as-Sa'di hlm. 100-101]

IV. SEMANGAT IBADAH

Waki’ bin Jarroh berkata: “Selama kurang lebih tujuh puluh tahun lamanya, al-A’masy (Sulaiman bin Mihran) tidak pernah ketinggalan takbirotul ihrom.” (Siyar Alam Nubala, adz-Dzahabi 6/228)

Abu Ishaq as-Sabi’i berkata: “Al-Aswad bin Yazid melakukan haji dan umroh sekaligus sebanyak delapan puluh kali, dan Amr bin Maimun melakukannya sebanyak enam puluh kali.” (Al-Mushonnaf, Ibnu Abi Syaibah 7/157)

Tatkala Abdulloh bin Idris bin Yazid al-Kufi akan meninggal dunia, putrinya menangis, maka dia berkata kepadanya: “Wahai putriku, janganlah menangis, karena saya telah mengkhatamkan al-Qur’an di rumah ini sebanyak empat ribu kali.” (Siyar A’lam Nubala, adz-Dzahabi 9/44)

V. TAKUT MENANGIS

Abu Bakar Muhammad bin Mahrawaih berkata: “Saya mendengar Ali bin Husain bin Junaid berkata: ‘Saya mendengar Yahya bin Main berkata: ‘Kita mengkritik suatu kaum yang bisa jadi mereka telah pergi ke surga semenjak dua ratus tahun yang lalu.’ Ibnu Mahrawaih berkata: “Setelah itu, saya masuk ke Ibnu Abi Hatim dan beliau sedang membacakan kitab al-Jarh wa Ta’dil kepada manusia. Aku ceritakan ucapan Ibnu Main di atas kepadanya, lalu dia menangis, kedua tangannya bergemetar sehingga kitabnya jatuh dari tangannya, diapun terus menangis dan meminta kepadaku untuk mengulangi ucapan di atas, sampai akhirnya dia tidak jadi melanjutkan pelajaran saat itu.” (Tarikh Dimsyaq, Ibnu Asakir 35/365)

Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkomentar: “Hal ini menunjukkan rasa takutnya beliau, karena pada asalnya ucapan seorang pengkritik yang waro‘ (hati-hati/takut) tentang orang-orang lemah merupakan nasehat untuk agama Alloh Subhanahu wa ta'ala dan membela sunnah Rosululloh Shallallahu'alahi wa sallam (Siyar A’lam Nubala 13/268)

VI. MEMBELA KAWAN

Pernah dikatakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah “Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya fulan dan fulan tidak meridhoi Imam Syafi’i.” Maka beliau berkata: “Kami tidak mengerti apa yang keduanya katakan. Demi Alloh, kami tidak mengetahui dari Syafi’i kecuali hanya kebaikan.”

Setelah itu, Imam Ahmad berkata kepada orang-orang yang berada di sekitarnya: “Ketahuilah -semoga Alloh Subhanahu wa ta'ala merohmati kalian- bahwa seseorang apabila dikaruniai ilmu yang tidak diberikan kepada kawan-kawannya,  maka   mereka  akan dengki kepadanya dan menuduh yang bukan-bukan padanya. Sungguh, ini adalah suatu perangai yang jelek pada diri seorang yang berilmu.” (Manaqib Syafi’i, al-Baihaqi 2/259)

VII. KECERDASAN

Sebagian ulama kota Halab pernah datang ke Damaskus seraya berkata: “Saya dengar bahwa di kota ini ada seorang anak kecil bernama Ahmad bin Taimiyyah, dia memiliki hafalan yang cepat. Saya datang ke sini dengan tujuan untuk melihatnya. Seorang penjahit berkata padanya: “Dia belum datang, ini adalah jalan madrasahnya, duduk saja di sini dulu, sebentar lagi dia akan lewat.” Belum lama duduk, akhirnya anak-anak kecil lewat, penjahit itu berkata: “Itu, anak yang membawa papan besar, dialah Ahmad bin Taimiyyah yang anda cari tadi.”

Syaikh tersebut memanggil anak kecil tersebut dan diapun datang. Syaikh berkata: “Wahai anakku, saya akan mendiktemu sebelas atau tiga belas hadits.” Setelah selesai, dia menyuruh anak itu untuk membacanya. Si anak hanya mengamati sekali lalu menyerahkan tulisannya tadi kepada Syaikh. Kemudian Syaikh menyuruhnya untuk mengulangi apa yang dia tulis tadi dengan hafalan, dan anak tersebut mampu menghafalnya dengan lancar.”

Hal itu diulang lagi oleh Syaikh tersebut dengan hadits-hadits lainnya, namun anak itu pun juga mampu menghafalnya dengan cepat. Akhirnya, Syaikh tersebut berdiri seraya berkata: “Sungguh, seandainya anak ini diberi umur panjang, niscaya akan memiliki nama yang harum, belum pernah aku melihat orang sepertinya.” (Al-Uqudad-Durriyyah, Ibnu Abdil Hadi hlm. 20)

VIII. TANTANGAN

Seorang ahli hadits India, Syaikh Tsana’ulloh al-Amritsari (wafat 1367 H) pernah menantang Mirza Ghulam Ahmad al-Qodiyani pada tahun 1326 H bahwa barangsiapa yang berdusta di antara keduanya dan berada di atas kebathilan, maka dia akan duluan mati dan terkena penyakit kolera. Akhirnya, selang beberapa waktu, Mirza terkena penyakit kolera kemudian meninggal dunia. (Nuzhatul Khowathir wa Bahjatul Masami’ wa Nawadhir, Abdul Hayyi al-Hasani 8/95)

Dalam kitab “Al-Qodiyaniyyah” hlm. 158 karya Syaikh Ihsan Ilahi Zhohir dikatakan, “Koran-koran India saat itu memberitakan bahwa Ghulam Ahmad al-Qodiyani tatkala terkena kolera, dia mengeluarkan kotoran najis dari mulutnya sebelum mati, dan dia mati dalam keadaan duduk di kamar mandi untuk buang air besar!!.” (Dinukil dari Ar-Riyadh Nadiyyah, Ali Hasan al-Halabi hlm.41-42)

IX. BERITA DUSTA

al-Ustadz Abdulloh ath-Thoyyar berkata: “Salah seorang muridku yang aku percayai pernah bercerita kepadaku bahwa Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah pernah ditanya dalam sebuah acara soal jawab via telepon tentang mimpi seorang wanita yang mengatakan:

“Saya melihat seorang thowaf di Ka’bah pada musim haji dalam keadaan telanjang.” Syaikh menjawab: “Bergembiralah, semoga hal itu tanda bahwa Alloh mengampuni dosa-dosanya.” Wanita itu lalu berkata: “Wahai Syaikh, orang yang saya lihat tersebut adalah dirimu.” Mendengar hal itu, beliau langsung menangis sejadi-jadinya dan terputus hubungan.

al-Ustadz ath-Thoyyar melanjutkan: “Setelah mendengar cerita ini, saya langsung menelpon Syaikhuna rahimahullah (Ibnu Utsaimin) dan saya katakan kepada beliau: “Ada seorang terpercaya bercerita kepadaku begini dan begitu.” Syaikh menjawab: “Cerita ini tidak ada asalnya, dusta belaka.” Saya berkata: “Wahai Syaikh, orang yang menceritakannya adalah terpercaya.” Syaikh menjawab: “Saya katakan padamu ini adalah dusta, kenapa kamu mengatakan dia terpercaya.”

Kemudian beberapa hari berikutnya saya datang berziarah kepada beliau, saya katakan: ”Wahai Syaikh, mungkin engkau mengatakan seperti itu karena tawadhu‘ (rendah hati), biar tidak ‘ujub (bangga diri) dan agar manusia tidak menceritakan hal itu.” Namun Syaikh tetap menjawab: “Wahai anakku, cerita ini adalah dusta baik secara global maupun terperinci, maka katakan kepada kawanmu agar lain kali mengecek terlebih dahulu sebelum menukil kepada orang lain.”[2] (Liqo’aati Ma’a Syaikhina, Abdulloh ath-Thoyyar 2/48

X. CANDA DUA ULAMA

Ada seorang pemuda penuntut ilmu pernah naik mobil bersama Syaikh al-Albani. Syaikh al-Albani rahimahullah mengemudi mobilnya dengan kecepatan tinggi. Melihatnya, maka pemuda itu pun menegur: “Wahai Syaikh, ini namanya “ngebut” dan hukumnya tidak boleh. Syaikh Ibnu Baz mengatakan bahwa hal seperti ini termasuk menjerumuskan diri kepada kebinasaan.” Mendengarnya, Syaikh al-Albani rahimahullah tertawa lalu berkata: “lni adalah fatwa seorang yang tidak merasakan nikmatnya mengemudi mobil!!.” Pemuda itu berkata: “Syaikh, saya akan laporkan hal ini ke Syaikh Abdul Aziz bin Baz.” Jawab Syaikh al-Albani: “Silahkan, laporkan saja.”

Pemuda itu melanjutkan ceritanya: “Suatu saat, saya bertemu Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah di Makkah maka saya laporkan dialog saya dengan Syaikh al-Albani tersebut kepada beliau. Mendengarnya, beliau juga tertawa seraya berkata: “Katakan padanya: “Ini adalah fatwa seorang yang belum merasakan enaknya terkena denda!.” (Al-lmam Ibnu Baz, Abdul Aziz as-Sadhan hlm. 73)

[Majalah Al-Furqon, no. 75 Edisi 5 Th. ke-7, 1428/2007, hlm. 62-64]

Catatan Kaki:

[1] Bacalah risalah beliau yang berjul “Ad-Dalaail Al-Qur’aniyyah fi Annal Uluma wal A’mal Nafi’ah al-Ashriyyah Dakhilah fii Diinil Islam
[2] Syaikhuna Sami Muhammad juga pernah mengabarkan kepadaku [Ustadz Abu Ubaidah] tentang kisah ini: “Saya mendengar dengan kedua telingaku dari Syaikhuna Ibnu Utsaimin rahimahullah dan beliau berada di sampingku di sini (di mobilnya) bahwa kisah ini adalah dusta.” Wallohu A’lam

Sumber: www.ibnumajjah.wordpress.com
Download Ebooknya: Klik Disini

Category: Faedah

0 comments:

Post a Comment