Other Recent Articles

Dan Mereka pun Menangis

By Unknown on Monday 23 April 2012 0 comments

Al-Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan oleh Rabb semesta alam sebagai mukjizat bagi Rasulullah shalallahu alaihi wa salam. Isinya merupakan obat penawar bagi jiwa yang berada dalam kehampaan dan kegersangan. Dalam periode waktu yang relatif singkat Al-Qur’an telah mampu mengubah kehidupan orang arab jahiliyah kepada cahaya hidayah yang terang benderang dan menjadikannya kaum yang terhormat dan disegani.


Kandungan Al-Qur’an kemudian mampu menggerakkan generasi sesudahnya sehingga keimanan mereka kokoh dan Islam pun tersebar ke seantero jazirah Arab bahkan mampu menembus kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) dan Andalusia. Allah memfirmankan bahwa dalam Al-Qur’an memang terdapat sebab menuju kemuliaan,

“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (Qs. Al-Anbiyaa’ : 10).

Namun kini empat belas abad telah berlalu, Al-Qur’an telah banyak ditinggalkan, hanya menjadi hiasan dinding dan lemari serta sekadar dibaca tanpa diresapi maknanya dengan mentadabburinya. Allah subhanahu wa ta’ala kemudian memberikan peringatan dalam firman-Nya,

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Al-Hadiid: 16).

Ayat ini bisa menjadi bahan instropeksi bagi kita yang kini lalai dan sebagai upaya memperbaiki kondisi hati yang belum juga tunduk ketika seruan Allah dikumandangkan. Mungkin hati kita memang telah menjadi sedemikian keras.

Pangkal Kebaikan hati

Untuk melunakkan dan melembutkan hati Allah memerintahkan untuk mentadabburi dan berupaya memahami kandungan Al-Quran dengan sungguh-sungguh dan melarang untuk berpaling darinya,

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS Muhammad: 24)

Allah subhanahu wa ta’ala juga menjelaskan bahwa tujuan diturunkannya Al-Qur’an adalah sebagai sarana untuk tadabbur dan tadzakkur,

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shaad: 29)

Dalam Madarij As-Salikin Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah menjelaskan bahwa hal yang paling bermanfaat bagi seorang hamba dalam kehidupan dunia dan akhiratnya (untuk lebih mendekatkannya dengan keselamatan) adalah dengan ber-tadabbur pada Al-Qur’an, perenungan yang berkelanjutan, dan konsentrasi akan makna ayat-ayatnya. Menurut beliau sikap ini mampu membuat seorang hamba mengetahui berbagai kebaikan dan kejahatan serta aspek-aspeknya, metode untuk menempuh jalan kebaikan dan kejahatan tersebut, kausalitasnya, tujuan-tujuannya, buah hasilnya, dan nasib para pelakunya. “

Sementara dalam bukunya yang lain, Miftah Dar As-Sa’adah beliau mengatakan bahwa bertadabbur akan melahirkan cinta, rindu, rasa takut, rasa harap, inabah, tawakal, ridha, sikap penyerahan, syukur, sabar, dan berbagai kondisi psikologis lain yang menghidupkan dan menyempurnakan hati. Tadabbur juga dapat menjauhkan berbagai sifat dan perbuatan tercela yang menggerogoti hati.

Membaca satu ayat dengan tafakkur dan tafahhum (kritis dan bersungguh-sungguh untuk mencari pemahaman makna Al-Qur’an), lanjut beliau, lebih baik daripada sekedar membaca satu kali khatam tanpa tadabbur dan tafahhum. Hal itu lebih bermanfaat bagi hati dan lebih efektif dalam menumbuhkan iman dan kenikmatan membaca Al-Qur’an. Jadi, membaca Al-Qur’an dengan tafakkur adalah pangkal kebaikan hati.”

Keutamaan Menangis

Allah subhanahu wa ta’ala memuji makhluk-Nya yang paling mulia di dalam firman-Nya,

“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS Maryam: 58)

Ibnu Sa’di berkata berkenaan dengan ayat di atas, “Firman Allah subhanahu wa ta’ala, ‘Maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis, maksudnya adalah mereka khudhu’ dan khusyu’ dengan ayat-ayat tersebut, karena menggoreskan iman, cinta dan takut di hati mereka, sehingga membuat mereka menangis, berserah diri dan sujud kepada Tuhan mereka.”

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai para ahli kitab yang shalih,

“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.’ Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS al Israa’: 107-109)

Menangis, menurut Al-Ghazali, disunahkan saat membaca Al-Qur’an. Cara untuk memaksakan tangisan adalah membayangkan hal-hal yang dapat menyebabkan kita menangis, yaitu dengan merenungi ancaman dan janji yang ada di dalam Al-Qur’an, kemudian merenungi kealpaan sikap kita terhadap berbagai perintah dan larangan Allah subhanahu wa ta’ala.

Rasa sedih dan tangis hanya menghampiri hati seseorang yang bersih. Hilangnya kesedihan dan tangisan hendaknya membuat kita bersedih (dan menangis), karena hal tersebut merupakan tanda musibah terbesar yang telah menimpanya.”

Belajar dari Generasi Awal

Dalam sejarah kehidupan generasi awal Islam, banyak kita temui kisah-kisah tentang kelembutan hati dimana mereka sering menangis ketika membaca dan mendengarkan Al-Qur’an. Hati mereka begitu mudah tersentuh karena keimanan yang telah begitu kuat mengakar di dalam dada. Berikut ini beberapa kisah tentang figur-figur itu:

1. Abu Bakar Ash-Shidiq Radhiallahu Anhu

Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya bahwa ketika sakit Rasulullah shalallahu alaihi wa salam semakin keras, beliau ditanya tentang shalat. Lalu beliau menjawab, “Suruhlah Abu Bakar mengimami orang-orang.”.

Aisyah berkata, “Sesungguhnya Abu Bakar adalah orang yang sangat lembut. Bila dia membaca Al-Qur’an maka dia tidak kuasa menahan tangis.” Lalu Nabi shalallahu alaihi wa salam berkata, “Suruhlah dia mengimami shalat.” Lalu Aisyah mengulangi perkataannya. Nabi Shalallahu Alaihi wa Salam pun berkata, “Suruh dia mengimami shalat. Sesungguhnya kalian (seperti) pengikut Yusuf.”


2. Umar bin Khattab Radhiallahu Anhu

Abdullah bin Syidad berkata, “Aku mendengar tangisan sedu sedan Umar saat aku di barisan belakang, yaitu ketika dia membaca, ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku’.” (HR Bukhari)

Diriwayatkan dari Ubaid bin Umair, ia berkata, “Umar mengimami kami shalat Subuh, lalu dia membaca surat Yusuf pada rakaat pertama. Ketika sampai pada ayat, ‘Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya)’ (QS Yusuf: 84) beliau menangis hingga berhenti lalu ruku’”


3. Abdurrahman bin Auf Radhiallahu Anhu

Diriwayatkan dari Sa’ad bin Ibrahim, dia berkata, “Abdurrahman bin Auf diberi makan malam saat dia berpuasa. Lalu dia membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala,

“Karena sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang bernyala-nyala, dan makanan yang menyumbat di kerongkongan dan adzab yang pedih.’ (QS Al-Muzammil: 12-13)

Setelah itu dia terus-menerus menangis hingga makan malamnya dibereskan, sedangkan (siang harinya) dia benar-benar puasa.”

4. Aisyah Radhiallahu Anha

Diriwayatkan dari Qasim (keponakan Aisyah), ia berkata, “Apabila aku pergi pada pagi hari maka aku selalu memulai keberangkatanku dari rumah Aisyah untuk mengucapkan salam kepadanya. Pada suatu hari aku pergi dan ternyata dia sedang berdiri sambil membaca tasbih dan ayat,

‘Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka.’ (Qs. Ath-Thuur: 27)

Dia berdoa, menangis, dan mengulang-ulang ayat tersebut. Lalu aku berdiri hingga aku jenuh berdiri. Lalu aku pergi ke pasar untuk mencari kebutuhanku. Ketika aku kembali, ternyata Aisyah Radhiallahu Anha masih berdiri seperti semula sambil melakukan shalat dan menangis.”

5. Abu Hurairah Radhiallahu Anhu

Diriwayatkan dari Sulaiman bin Muslim bin Jammaz, “Aku mendengar Abu Ja’far berkata kepada kami tentang bacaan Abu Hurairah radhiallahu anhu pada ayat,

“Apabila matahari digulung.” (Qs At-Takwiir:1)

Beliau sangat tersayat hatinya ketika mendengar ayat tersebut, hingga terkadang menangis dengan ratapan.

6. Abdullah bin Rawahah Radhiallahu Anhu

Diriwayatkan dari Qais bin Abu Hazim, ia berkata, “Abdullah bin Rawahah menangis, lalu istrinya ikut menangis. Lalu dia bertanya kepada istrinya, ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Istrinya menjawab, ‘Aku melihatmu menangis maka aku pun ikut menangis.’ Dia kemudian berkata, ‘Aku teringat dengan ayat ini,

“Dan tidak ada seorang pun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu.” (Qs Maryam: 71).

Aku tahu bahwa aku pasti akan memasuki neraka, tetapi aku tidak tahu apakah aku akan selamat dari neraka.’”

7. Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhu

Diriwayatkan dari Qasim bin Abu Bazzah, ia berkata, “Aku diberitahu oleh orang yang mendengar Ibnu Umar radhiallahu anhu membaca ayat,

‘Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?’ (Qs. Al Muthaffifiin: 1-6)

Ibnu Umar lalu menangis hingga tersungkur, dan setelah itu ia enggan untuk membaca ayat tersebut.”

8. Ibnu Abbas Radhiallahu Anhu

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Mulaikah, dia berkata, “Aku menemani Ibnu Abbas radhiallahu anhu dari Mekah ke Madinah. Jika singgah di suatu tempat maka dia selalu bangun pada separuh malam.” Lalu Ayyub bertanya kepadanya, “Bagaimana bacaannya?” Abdullah menjawab,”Dia membaca,

‘Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.’ (Qs. Qaaf: 19)

Dia membacanya dengan tartil dan sering menangis terisak-isak.

9. Umar bin Abdul Aziz

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Dzaib, ia berkata, “Aku diberitahu oleh seseorang yang sempat menyaksikan Umar bin Abdul Aziz sebagai gubernur Madinah, bahwa seorang laki-laki membacakan ayat ini kepadanya,

‘Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka disana mengharapkan kebinasaan. (Qs. Al-Furqaan: 13)

Lalu Umar bin Abdul Aziz menangis hingga tidak dapat mengendalikan tangisnya dan isakannya pun menjadi keras. Lalu dia berdiri dari tempat duduknya dan masuk ke rumah.”

10. Hasan Al-Bashri

Diriwayatkan dari Salam bin Abu Muthi’, ia berkata, “Hasan diberi segelas air untuk berbuka puasa. Ketika dia mendekatkan air itu ke mulutnya, dia menangis dan berkata, ‘Aku ingat harapan besar dari para penghuni neraka dan ucapan mereka, “Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.’ Aku pun teringat jawabannya kepada mereka,
‘Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.” (QS Al-A’raaf: 50)

11. Abu Hanifah

Muhammad bin sama’ah meriwayatkan dari Muhammad bin Hasan, dari Qasim bin Ma’an, bahwa Abu Hanifah bangun malam sambil mengulang-ulang firman Allah subhanahu wa ta’ala,

“Sebenarnya hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (Qs. Al-Qomar: 46).

Dia menangis dan tadharru’ (merendahkan diri) hingga Subuh.

Demikianlah kisah pribadi-pribadi itu, yang mencerminkan kondisi jiwa mereka yang takut akan kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala, kisah yang merupakan cerminan dari kejujuran hati yang dipenuhi cahaya keimanan. Semoga kita bisa menjadikannya sebagai teladan.

Referensi:
Muhammad Syauman bin Ahmad ar-Ramali, Tangisan Salaf Ketika Membaca dan Mendengarkan Al-Qur’an, Pustaka Azzam, Oktober 2004

***
Sumber: http://jilbab.or.id/

Category: Akhlaq dan Nasehat , Mutiara Hikmah dan Sya'ir , Penyejuk Hati

0 comments:

Post a Comment