Other Recent Articles

Kasih Sayang Allah Kepada Hamba-Nya dan Nabi Kepada Umat-Nya

By Unknown on Tuesday 10 April 2012 0 comments

Oleh Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi

Kasih Sayang Allah Kepada Hamba-Nya

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Rabbmu berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas kepada dirinya; Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala macam dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. az-Zumar: 53)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya -untuk menyatakan- bahwa aku ini adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kalian, supaya kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah, sesungguhnya aku takut menimpa kalian siksaan pada hari yang menyedihkan.” (QS. Hud: 25-26)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Ad Kami utus saudara mereka Hud, dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah saja, tidak ada bagi kalian sesembahan -yang benar- selain Dia, tidaklah apa yang kalian lakukan -berupa syirik- melainkan kedustaan.” (QS. Hud: 50)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Tsamud Kami utus saudara mereka Shalih, dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah saja, tidak ada bagi kalian sesembahan -yang benar- selain Dia. Dia lah yang telah menciptakan kalian dari tanah dan menjadikan kalian berkuasa di atasnya, maka mohon ampunlah kepada-Nya lalu bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Dekat lagi Maha Mengabulkan doa.” (QS. Hud: 61)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Madyan Kami utus saudara mereka Syu'aib, dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah saja, tidak ada bagi kalian sesembahan -yang benar- selain Dia. Dan janganlah kalian kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kalian berada di atas kebaikan, dan aku sungguh mengkhawatirkan akan siksaan pada hari yang siksanya meliputi segala tempat.” (QS. Hud: 84)

Dari 'Umar bin al-Khaththab radhiyallahu'anhu, beliau menceritakan bahwa pada suatu ketika ada serombongan tawanan perang yang didatangkan ke hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Di tengah-tengah mereka ada seorang perempuan yang mengambil susu dari kedua payudaranya. Di saat dia berhasil menemukan bayinya di antara rombongan tawanan itu maka dia pun segera mengambil anak itu lalu didekapnya dengan erat ke tubuhnya. Kemudian dia pun menyusuinya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda kepada kami, “Apakah menurut kalian ibu ini tega untuk melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?”. Kami menjawab, “Tentu saja tidak, sedangkan dia mampu mencegah dari melemparkannya.” Lalu beliau bersabda, “Sungguh, Allah jauh lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Adab [5999] dan Muslim dalam Kitab at-Taubah [2754])

Dari Abu Musa radhiyallahu'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah 'azza wa jalla senantiasa membentangkan tangan-Nya di waktu malam untuk menerima taubat pelaku dosa di waktu siang dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang untuk menerima taubat pelaku dosa di waktu malam, sampai matahari terbit dari tempat tenggelamnya.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Taubah [2759])

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bertaubat sebelum terbitnya matahari dari arah tenggelamnya niscaya Allah masih menerima taubatnya.” (HR. Muslim dalam Kitab adz-Dzikr wa ad-Du'a' wa at-Taubah wa al-Istighfar [2703])

Dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu di kalangan Bani Isra'il ada seorang lelaki yang telah membunuh 99 jiwa manusia. Kemudian dia pun keluar dan mendatangi seorang rahib, lalu dia bertanya kepada rahib itu. Dia mengatakan, “Apakah aku masih bisa bertaubat?”. Rahib itu menjawab, “Tidak.” Maka lelaki itu pun membunuhnya. Setelah itu, ada seseorang yang memberikan saran kepadanya, “Datanglah ke kota ini dan itu.” Kemudian di tengah-tengah perjalanan tiba-tiba ajal menjemputnya. Dia meninggal dalam keadaan dadanya condong ke arah kota tujuannya. Terjadilah pertengkaran antara Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab. Allah pun mewahyukan kepada kota yang satu, “Mendekatlah.” Dan Allah juga mewahyukan kepada kota yang lain, “Menjauhlah.” Lalu Allah memerintahkan, “Ukurlah berapa jarak antara keduanya.” Ternyata didapati bahwa lelaki tersebut lebih dekat sejengkal dengan kota yang baik; maka diampunilah dia.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ahadits al-Anbiya' [3470] dan Muslim dalam Kitab at-Taubah [2766], ini lafal Bukhari)

Kandungan Nama Allah ar-Rahman ar-Rahim

Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “ar-Rahman yaitu apabila dimintai pasti memberi. Adapun ar-Rahim adalah jika tidak dimintai maka dia marah.” (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/27]). Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah maka Allah pasti murka kepadanya.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab ad-Da'awat [3373] dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani)

Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah berkata, “ar-Rahman artinya sosok yang melekat pada dirinya sifat kasih sayang (rahmat), sedangkan ar-Rahim artinya Allah menyayangi hamba-hamba-Nya.” (lihat Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 99-100).

Nama ar-Rahman menunjukkan rahmat Allah yang maha luas dan mencakup seluruh makhluk. Oleh sebab itu ketika berbicara tentang kemuliaan diri-Nya yang ber-istiwa/tinggi menetap di atas 'Arsy -sementara 'Arsy itu meliputi semua makhluk- maka Allah menyebut dirinya dengan nama yang memiliki kandungan sifat yang paling luas pula yaitu ar-Rahman. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “ar-Rahman istiwa' di atas Arsy.” (QS. Thaha: 5). Allah juga berfirman (yang artinya), “Rahmat-Ku luas mencakup segala sesuatu.” (QS. al-A'raaf: 56). (lihat adh-Dhau' al-Munir fi at-Tafsir [1/60])

Konsekuensi dari sifat rahmat ini adalah Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab untuk membimbing manusia demi kebahagiaan hidup mereka. Perhatian Allah untuk itu jelas lebih besar daripada sekedar perhatian Allah untuk menurunkan hujan, menumbuhkan tanam-tanaman dan biji-bijian di atas muka bumi ini. Siraman air hujan membuahkan kehidupan tubuh jasmani bagi manusia. Adapun wahyu yang dibawa oleh para rasul dan terkandung di dalam kitab-kitab merupakan sebab hidupnya hati mereka (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 8).

Inilah nikmat Allah yang terbesar kepada hamba-hamba-Nya. Yaitu diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab untuk membimbing mereka ke jalan yang lurus, untuk mengeluarkan mereka dari berlapis-lapis kegelapan menuju cahaya serta untuk menegakkan hujjah kepada mereka (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani Syarh Muqoddimah Risalah Ibnu Abi Zaid al-Qoiruwani, hal. 108)


Kasih Sayang Nabi Kepada Umat-Nya

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian. Terasa berat baginya apa yang menyusahkan kalian. Dia sangat bersemangat memberikan kebaikan kepada kalian. Dan terhadap orang-orang yang beriman dia sangat lembut dan penyayang.” (QS. at-Taubah: 128)

Dari Abdullah bin Amr bin al-'Ash radhiyallahu'anhuma, beliau menceritakan: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca firman Allah 'azza wa jalla mengenai Ibrahim (yang artinya), “Wahai Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah banyak menyesatkan manusia, barangsiapa yang mengikutiku maka sesungguhnya dia adalah termasuk golonganku.” (QS. Ibrahim: 36). 'Isa 'alaihis salam juga berkata (yang artinya), “Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba-Mu, dan apabila Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Ma'idah: 118). Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah, umatku, umatku.” Dan beliau pun menangis. Allah 'azza wa jalla berfirman, “Wahai Jibril, pergi dan temuilah Muhammad -sedangkan Rabbmu tentu lebih mengetahui- lalu tanyakan kepadanya, apa yang membuatmu menangis?”. Maka Jibril 'alaihis sholatu was salam  menemui beliau dan bertanya kepadanya, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberitakan kepadanya tentang apa yang telah diucapkannya -dan Dia (Allah) tentu lebih mengetahuinya-. Kemudian Allah berfirman, “Wahai Jibril, pergi dan temuilah Muhammad, dan katakan kepadanya, 'Sesungguhnya Kami pasti akan membuatmu ridha berkenaan dengan nasib umatmu, dan Kami tidak akan membuatmu bersedih.'.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [202])

Dari Qais bin Abi Hazim, dari Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu'anhu, Jarir berkata: Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Wahai Jarir, maukah engkau menenangkan hatiku dari memikirkan Dzul Khalashah?” [Dzul Khalashah adalah sebuah rumah di Khats'am salah satu wilayah Yaman di dalamnya terdapat berhala yang dipuja] yang dijuluki sebagai Ka'bahnya Yaman. Jarir menceritakan, “Aku pun bergegas berangkat bersama seratus lima puluh pasukan berkuda -dari suku Ahmas, pent-. Sebenarnya aku kurang tangguh mengendarai kuda. Maka aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu beliau menepukkan telapak tangannya ke dadaku seraya berdoa, “Ya Allah, teguhkanlah dia dan jadikan dia pemberi petunjuk dan senantiasa terbimbing.” Qais berkata: Berangkatlah Jarir ke sana dan membumihanguskan rumah itu dengan api. Setelah itu Jarir mengutus salah seorang di antara kami untuk menyampaikan berita gembira ini kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang itu dipanggil dengan Abu Arthah. Sesampainya di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dia melapor, “Tidaklah saya datang menghadap anda kecuali kami telah meninggalkannya dalam keadaan bagaikan onta yang terserang penyakit kudis di sekujur tubuhnya.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun mendoakan keberkahan bagi kuda-kuda suku Ahmas beserta pasukannya sampai lima kali.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jihad wa as-Siyar [3020] dan Muslim dalam Kitab Fadha'il ash-Shahabah [2476])

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Setiap Nabi memiliki sebuah doa mustajab yang akan dipanjatkan olehnya, maka Aku ingin menyimpan doaku sebagai syafa'at bagi umatku kelak di akherat.” (HR. Bukhari dalam Kitab ad-Da'awat [6304] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [198])

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Setiap Nabi memiliki sebuah doa yang mustajab, maka semua Nabi bersegera mengajukan doanya itu. Adapun aku menunda doaku itu sebagai syafa'at bagi umatku kelak di hari kiamat. Doa -syafa'at- itu -dengan kehendak Allah- akan diperoleh setiap orang di antara umatku yang meninggal dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [199])

Dari Urwah, suatu ketika 'Aisyah radhiyallahu'anha -istri Nabi- menceritakan kepadanya, bahwa dia pernah bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Pernahkah anda menemui suatu hari yang lebih berat daripada hari Uhud?”. Beliau menjawab, “Aku telah mendapatkan tanggapan dari kaummu sebagaimana apa yang aku temui. Tanggapan paling berat yang pernah aku dapatkan adalah pada hari 'Aqabah, ketika itu aku tawarkan diriku kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kulal, akan tetapi dia tidak menerima tawaranku sebagaimana yang aku kehendaki. Aku pun kembali dengan perasaan sedih mewarnai wajahku. Tanpa terasa tiba-tiba aku sudah berada di Qarn Tsa'alib. Aku angkat kepalaku ke atas, ternyata ada awan yang sedang menaungi diriku. Aku pun memperhatikan, ternyata di sana ada Jibril, lalu dia pun memanggilku. Dia berkata, 'Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu terhadapmu dan penolakan yang mereka lakukan terhadapmu. Dan Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung, agar kamu perintahkan kepadanya apa yang ingin kau timpakan kepada mereka.' Maka malaikat penjaga gunung itu pun menyeruku dan mengucapkan salam kepadaku, lalu dia berkata, 'Wahai Muhammad'. Dia berkata, 'Apabila kamu menginginkan hal itu, niscaya akan aku timpakan kepada mereka dua bukit besar itu.'.” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam justru menjawab, “Tidak, sesungguhnya aku berharap mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang sulbi keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dalam Kitab Bad'u al-Khalq [3231])

Dari Abu Musa al-Asy'ari radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku untuk mendakwahkannya laksana hujan deras yang membasahi bumi. Di muka bumi itu ada tanah yang baik sehingga bisa menampung air dan menumbuhkan berbagai jenis pohon dan tanam-tanaman. Adapula jenis tanah yang keras sehingga bisa menampung air saja dan orang-orang mendapatkan manfaat darinya. Mereka mengambil air minum untuk mereka sendiri, untuk ternak, dan untuk mengairi tanaman. Hujan itu juga menimpa jenis tanah lain yang tandus, tidak bisa menahan air dan tidak menumbuhkan tanam-tanaman. Demikian itulah perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah kemudian ajaran yang kusampaikan kepadanya memberi manfaat bagi dirinya. Dia mengetahui ilmu dan mengajarkannya. Dan perumpamaan orang yang tidak mau peduli dengan agama dan tidak mau menerima hidayah Allah yang aku sampaikan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-'Ilm [79])

Suatu ketika, Abdullah putra Abdullah bin Ubay bin Salul -gembong munafikin- duduk di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika itu beliau sedang minum. Abdullah berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tidakkah anda sisakan air minum anda untuk aku berikan kepada ayahku? Mudah-mudahan Allah berkenan membersihkan hatinya dengan air itu.” Nabi pun menyisakan air minum beliau untuknya. Lalu Abdullah datang menemui ayahnya. Abdullah bin Ubay bin Salul pun bertanya kepada anaknya, “Apa ini?”. Abdullah menjawab, “Itu adalah sisa minuman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku membawakannya untukmu agar engkau mau meminumnya. Mudah-mudahan Allah berkenan membersihkan hatimu dengannya.” Sang ayah berkata kepada anaknya itu, “Mengapa kamu tidak bawakan saja kepadaku air kencing ibumu, itu lebih suci bagiku daripada bekas air minum itu.” Maka dia -Abdullah- pun marah dan datang -melapor- kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah anda mengizinkan aku untuk membunuh ayahku?”. Namun, ternyata Nabi menjawab, “Jangan, hendaknya kamu bersikap lembut dan berbuat baik kepadanya.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 54)
____________
Sumber:
  • http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150638873171123
  • http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150642827996123

Category: Akhlaq dan Nasehat , Penyejuk Hati , Rasulullah

0 comments:

Post a Comment