You are here: Home » Bid'ah , Manhaj , Salafi » Ini Dalilnya (2): Jadikan Manhaj Salaf Sebagai Rujukan
Kata ‘salaf’ secara bahasa berarti sesuatu yang telah lampau. Berikut ini kami nukilkan definisi ‘salaf’ dari beberapa kamus bahasa Arab yang kredibel [1]) ;
Ibnul Atsir -rahimahullah- mengatakan:
وَقِيْلَ سَلَفُ الإِنْسَانِ مَنْ تَقَدَّمَهُ بِالْمَوْتِ مِنْ آبَائِهِ وَذَوِي قَرَابَتِهِ وَلِهَذَا سُمِّيَ الصَّدْرُ الأَوَّلُ مِنْ التَّابِعِينَ السَّلَفَ الصَّالِحَ. {النهاية في غريب الأثر – (ج 2 / ص 981)} “Salaf seseorang juga diartikan sebagai siapa saja yang mendahuluinya (meninggal lebih dahulu), baik dari nenek moyang maupun sanak kerabatnya. Karenanya, generasi pertama dari kalangan tabi’in dinamakan As Salafus Shaleh” [2])
Perhatikanlah firman-firman Allah berikut:
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu :”Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu” (Q.S. Al Anfal:38).
Dalam kitab Al Wajiez fi ‘Aqidatis Salafis Shalih Ahlissunnah wal Jama’ah, Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary mengatakan sebagai berikut:
Secara istilah; kata ‘salaf’ jika disebutkan secara mutlak (tanpa embel-embel) oleh ulama aqidah, maka definisi mereka semuanya berkisar pada para sahabat; atau sahabat dan tabi’in; atau sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dari generasi-generasi terbaik. Termasuk diantaranya para Imam yang terkenal dan diakui keimaman dan keutamaannya serta keteguhan mereka dalam mengikuti sunnah, menjauhi bid’ah, dan memperingatkan orang dari padanya. Demikian pula orang-orang (lainnya) yang telah disepakati akan keimaman dan jasa besar mereka dalam agama. Karenanya, generasi pertama dari umat ini dinamakan As Salafus Shalih (Al Wajiez hal 15).
Demikian pula yang dinyatakan oleh Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy dalam kitabnya ‘Syarh Aqidah At Thahawiyah’:
Kalau saudara bertanya: Mana dalilnya yang mengharuskan kita mengikuti pemahaman mereka? Maka kami jawab, ini dalilnya;
1. Dari Al Qur’anul Kariem:
Ayat Pertama
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS. 4:115).
Penjelasannya:
Cobalah anda renungkan kalimat yang bercetak tebal di atas. Bukankah Allah telah menyatakan bahwa diantara sebab tersesatnya seseorang ialah karena ia mengikuti jalan yang lain dari jalan orang-orang beriman (ghaira sabilil mu’minin)? Pertanyaannya; siapakah orang-orang beriman yang dimaksud oleh ayat ini? Jelas bahwa orang-orang yang pertama kali masuk dalam kategori ayat ini ialah mereka yang telah beriman saat ayat ini diturunkan… mereka lah para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam.
Karenanya Imam Syafi’i berdalil dengan ayat ini bahwa ijma’nya para sahabat adalah hujjah (dalil), dan barangsiapa menyelisihi ijma’ mereka berarti termasuk orang-orang yang terancam oleh ayat di atas [4]).
Ayat Kedua
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya; dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (QS. 9:100).
Penjelasannya:
Dalam ayat ini sangat jelas bahwa Allah telah meridhai para sahabat dari kalangan muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Mereka semua (muhajirin & anshar) telah dijamin surga oleh-Nya. Lantas mengapa kita mencari teladan selain mereka yang belum tentu masuk surga dan selamat dari neraka?? Padahal di hadapan kita telah terbentang jalan yang terang benderang menuju Surga dan keridhaan Allah… Jalan manakah yang lebih baik dari jalan mereka…?!
Masihkah kita meyakini bahwa ada golongan lain yang lebih rajin beribadah, dan lebih bertakwa dari mereka? Mungkinkah kita akan mendapati sebuah amal shaleh yang belum mereka ketahui? Patutkah kita mencurigai atau menyangsikan keseriusan mereka dalam mengamalkan setiap yang baik…? Ataukah semestinya kita mencurigai siapa pun yang datang setelah mereka, bila ia mengada-adakan suatu praktik ibadah yang belum pernah mereka lakukan… Bagaimana menurut pembaca?
Ayat Ketiga:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (QS. 9:119)
Ayat Keempat:
Bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. 59: 8-9).
Penjelasan ayat ketiga dan keempat:
Dalam dua ayat ini Allah memerintahkan semua orang yang beriman agar bersama dengan orang-orang yang benar (ash shaadiquun), kemudian Dia menjelaskan bahwa orang-orang yang benar tersebut ialah para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Sedang dalam kaidah ushul fiqih, setiap perintah itu hukumnya wajib hingga ada dalil lain yang menggesernya menjadi mustahab (sunnah) atau mubah, dan dalil tersebut tidak ada. Kesimpulannya, kita wajib mengikuti jalan mereka.
Ayat Kelima:
Jika mereka beriman dengan apa yang kalian beriman dengannya, berarti mereka telah mendapat petunjuk… (QS. 2:137).
Penjelasan ayat kelima:
Konteks ayat ini selengkapnya merupakan bantahan terhadap klaim orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengatakan bahwa barangsiapa mengikuti mereka niscaya akan mendapat petunjuk (ayat 135). Maka Allah membantah klaim mereka tersebut, kemudian memerintahkan mereka untuk mengatakan: kami beriman kepada Allah, beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami,…. dan seterusnya (ayat 136). Kemudian Allah menentukan hakikat keimanan tadi; Jika mereka beriman dengan apa yang kalian beriman dengannya[5]), maka mereka telah mendapat petunjuk. Yang dimaksud dengan kata ‘kalian’ di sini ialah para sahabat.
Jadi, jelas sekali bahwa jalan satu-satunya untuk mendapatkan petunjuk ialah dengan mengikuti manhaj para salaf, terutama generasi sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Ayat Keenam:
Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat taqwa dan adalah mereka lebih berhak dengan kalimat taqwa itu dan merekalah ahlinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. 48:26).
Penjelasan ayat keenam:
Ayat ini menyingkap bagi kita akan arti takwa yang sesungguhnya, sekaligus menjelaskan bahwa para sahabatlah yang paling bertaqwa. Perhatikanlah ayat di atas bahwa yang memberi “stempel ahli taqwa” bukanlah manusia, jin, ataupun makhluk lainnya… tetapi Pencipta alam semesta; Allah Ta’ala.
Namun sayangnya, masih banyak orang yang berat menerima pengertian ini. Mereka merasa ada banyak cara untuk bertakwa kepada Allah yang terluputkan oleh para sahabat.
2. Dalil dari As Sunnah
Berikut ini beberapa hadits yang menjadi landasan dalam bermanhaj salafus shaleh;
Dari Abdurrahman bin Abdi Rabbil Ka’bah katanya: Sewaktu aku masuk ke masjidil haram, kudapati Abdullah bin Amru bin Ash sedang duduk berteduh di bawah ka’bah, sedangkan di sekelilingnya ada orang-orang yang berkumpul mendengarkan ceritanya. Lalu aku ikut duduk di majelis itu dan kudengar ia mengatakan: “Pernah suatu ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu safar. Ketika kami singgah di sebuah tempat, diantara kami ada yang sibuk membenahi kemahnya, ada pula yang bermain panah, dan ada yang sibuk mengurus hewan gembalaannya. Tiba-tiba penyeru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru lantang: “Ayo… mari shalat berjamaah!!” maka segeralah kami berkumpul di tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya tak ada seorang Nabi pun sebelumku, melainkan wajib baginya untuk menunjukkan umatnya akan setiap kebaikan yang ia ketahui; dan memperingatkan mereka dari setiap kejahatan yang ia ketahui. Sesungguhnya umat kalian ini ialah umat yang keselamatannya ada pada generasi awalnya; sedangkan generasi akhirnya akan mengalami bala’ dan berbagai hal yang kalian ingkari… al hadits” (H.R. Muslim no 1844).
Kami rasa dua hadits di atas cukup jelas maknanya bagi para pembaca. Jadi, jelaslah bahwa generasi awal (As Salafus Shaleh) dari umat ini, ialah generasi terbaik yang terpelihara dari fitnah-fitnah besar yang menimpa umat ini di kemudian hari. Maka wajar jika manhaj mereka yang paling dekat kepada kebenaran, dan paling terjaga dari penyimpangan. Kemudian disusul oleh generasi kedua dan ketiga.
Berangkat dari sini, maka setiap praktik ibadah yang muncul sepeninggal mereka harus kita waspadai. Janganlah terkecoh dengan banyaknya pengikut, karena jumlah yang banyak bukanlah jaminan sebuah kebenaran.
Sebagai pelengkap, berikut ini adalah wasiat-wasiat berharga dari para salaf yang lebih memperjelas akan pentingnya ittiba’ (mengikuti) dan bahayanya ibtida’ (membuat bid’ah). Sebagian besar mutiara hikmah ini kami nukil dari kitab Al Wajiez fi Aqidatis Salafis Shaleh Ahlissunnah wal Jama’ah, oleh syaikh Abdullah bin Abdil Hamid Al Atsary -hafidhahullah- jilid 1 hal 153-160.
2. Abdullah bin Mas’ud:
Beliau juga mengatakan:
3. Umar ibnul Khatthab:
Hadits yang senada juga diriwayatkan dari sahabat Salim bin ‘Ubeid:
4. Abdullah bin Umar:
Ibnu Umar memang terkenal sebagai sahabat yang paling ittiba’ kepada sunnah dan anti bid’ah. Imam At Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunan-nya:
Dari Nafi’ katanya; ada seseorang yang bersin di samping Ibnu Umar lantas mengatakan: Alhamdulillah was salaamu ‘ala Rasuulillaah! Maka Ibnu ‘Umar mengatakan: “Aku pun mengatakan: Alhamdulillah was salaamu ‘ala Rasuulillaah, tapi bukan begitu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada kami (ketika bersin). Beliau mengajarkan kami agar mengucapkan Alhamdulillaahi ‘ala kulli haal” [9]).
5. Abdullah bin ‘Abbas :
6. Mu’adz bin Jabal
Diriwayatkan dari Yazid bin ‘Umairah -salah seorang sahabat Mu’adz– bahwa Mu’adz bin Jabal dalam setiap majelisnya selalu mengatakan: “Allah itu bijaksana dan Maha Adil. Celakalah orang-orang yang ragu…”. Kemudian pada suatu hari Mu’adz mengatakan: “Sesungguhnya di belakang kalian akan ada fitnah yang banyak…. Saat itu harta melimpah ruah, Al Qur’an dibaca beramai-ramai oleh orang mu’min maupun munafik, wanita maupun anak-anak, dan hamba sahaya maupun orang merdeka… sampai-sampai ada yang mengatakan: “Mengapa orang-orang tak mau mengikutiku, padahal aku telah membaca Al Qur’an? Sungguh, mereka memang tidak mau mengikutiku sampai aku membikin bid’ah yang lain bagi mereka…”. Maka waspadalah kalian dari bid’ah yang diperbuatnya, karena setiap bid’ah itu sesat. Dan waspadalah kalian dari kesesatan orang bijak… karena Syaithan kadang menyampaikan kesesatan melalui lisan si Bijak; dan kadang si Munafik mengatakan yang haq”. Maka tanyaku: “Semoga Allah merahmatimu… lantas bagaimana aku tahu bahwa si Bijak menyampaikan kesesatan, dan si Munafik berkata benar?” “Bisa…” jawab Mu’adz. “Yaitu ketika si Bijak mengatakan sesuatu yang jelas-jelas batil; hingga kamu mengatakan: “Omongan apa ini !?” Namun jangan sampai hal itu menjauhkanmu darinya; karena boleh jadi ia segera bertaubat dan kembali kepada kebenaran… Maka terimalah al haq begitu kamu mendengarnya, karena dalam al haq itu terdapat cahaya” [11]).
Makna kesesatan orang bijak (زيغة الحكيم), sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud ialah:
7. Abdullah bin Mas’ud
8. Sufyan Ats Tsaury -rahimahullah-
9. Abdullah ibnul Mubarak -rahimahullah-
10. Al Fudhail bin ‘Iyadh -rahimahullah-
12. Al Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah-
13. Imam Malik bin Anas –rahimahullah–
Kemudian Imam Malik meletakkan sebuah kaidah agung, yang merupakan intisari dari perkataan para ulama yang tadi kita sebutkan:
Kami rasa, nukilan-nukilan di atas cukup gamblang dalam menggambarkan manhaj salaf yang menjadi tolok ukur kita dalam menilai mana bid’ah mana sunnah, dan mana haq mana batil.
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
[2]) An Nihayah fi Ghariebil Hadits wal Atsar, 2/981. Definisi yang sama juga dinyatakan oleh Ibnu Mandhur dalam Lisaanul ‘Arab 9/158, dan As Sayyid Muhammad Murtadha Az Zabidy dalam Taajul ‘Aruus (kamus Arab terbesar & terlengkap dalam sejarah, terdiri dari 35 jilid) lihat dalam bab Fa’ (ف), kata ‘sa-la-fa (سلف)’.
[3]) hal 146 dengan tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, cet. Wizarah Syu’un Islamiyyah wal Auqaf, Saudi Arabia.
[4]) Lihat kitab Al Ihkaam fi Ushuulil Ahkaam, 1/200 tulisan As Saif Al Aamidy cet. Al Maktabul Islamy. Demikian pula dalam Al Mankhul min Ta’lieqaatil Ushuul, 1/401 tulisan Al Ghazali, cet. Daarul Fikr.
[5]) Begini menurut versi terjemahan Depag, akan tetapi dalam Tafsir Al Baghawy disebutkan makna lainnya yang lebih jelas, seperti: jika mereka (ahli kitab) beriman dengan iman kalian, mentauhidkan Allah dengan tauhid kalian, berarti mereka telah mendapat petunjuk”.
Sedang dalam Tafsir Ibnu ‘Arafah disebutkan:
[6] H.R. Bukhari dalam Shahih-nya, no 1597; dan Muslim dalam Shahih-nya, no 1270 dari sahabat Ibnu ‘Umar.
[9]) Riwayat ini dinyatakan gharieb oleh At Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak 18/56; dinyatakan jayyid (hasan) menurut Ibnu Muflih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilatu Al Ahaadiets Adh Dha’iefah no 891. Dalam komentarnya Syaikh Al Albani mengatakan: “Lihatlah, bagaimana Ibnu ‘Umar mengingkari penempatan shalawat (salam) kepada Nabi disamping hamdalah dengan dalih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak pernah melakukan yang demikian itu; padahal beliau menyatakan bahwa dirinya sendiri mengucap hamdalah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seakan beliau hendak menolak anggapan yang mungkin muncul di benak sebagian orang, bahwa beliau mengingkari ucapan shalawat (salam) secara mutlak. Persis sebagaimana anggapan sebagian orang jahil ketika menyaksikan para pembela Sunnah mengingkari bid’ah-bid’ah semacam ini, orang-orang jahil itu menuduh mereka mengingkari shalawat atas Nabi… semoga Allah memberi hidayah kepada mereka! (idem, 2/390).
[10]) Mengomentari jawaban Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar diatas, Al Imam Al Hafizh Ibnul Qayyim berkata: “Begitulah cara ulama menjawab. Tidak seperti jawaban orang yang mengatakan bahwa ‘Utsman dan Abu Dzar -umpamanya- lebih tahu mengenai Rasulullah dari pada kita… Mengapa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar tidak mengatakan: “Abu Bakar dan Umar lebih tahu mengenai Rasulullah dari pada kami”…? Demikian pula tak seorang pun dari sahabat atau tabi’in yang rela dengan jawaban seperti ini sebagai alasan untuk menolak sebuah nash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu karena mereka lebih tahu mengenai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan lebih takut kepada-Nya kalau mereka sampai berani mendahulukan pendapat seseorang yang tidak ma’shum di atas pendapat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’shum” (lihat Zaadul Ma’aad, 2/178)
[11]) Lihat Sunan Abu Dawud, kitab: Assunnah, bab: Luzuumus Sunnah, hadits no 4611. Hadits ini dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud. Demikian pula dishahihkan oleh sayyid ‘Alawi Assaqqaf dalam Mukhtasar Al I’tisham, hal 25.
[12]) Memang benar apa yang beliau katakan. Seorang pelaku maksiat bagaimana pun juga pasti merasa dirinya bersalah. Karena dihantui rasa bersalah tadi, ia akhirnya terdorong untuk bertaubat. Tapi, lain halnya dengan pelaku bid’ah yang tidak pernah merasa bersalah, bahkan merasa lebih shaleh dari orang lain. Kalau lah tidak karena rahmat dan hidayah Allah, mustahil orang seperti ini akan bertaubat.
[13]) Para salaf biasa menyebut aqidah dengan istilah sunnah, dan ini termasuk salah satu makna sunnah.
Category: Bid'ah , Manhaj , Salafi
Related posts:
If you enjoyed this article, subscribe to receive more great content just like it.
0 comments:
Post a Comment