Other Recent Articles

Hantu Antara Dongeng Dan Agama

By Unknown on Monday 30 July 2012 0 comments

Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

Masyarakat Indonesia mengenal berbagai jenis hantu (makhluk sprritual) sehingga banyak istilah yang muncul untuknya. Misalnya : kuntilanak, sundel bolong, tuyul, pocong, genderuwo, siluman dan masih banyak lagi lainnya.

Pembahasan tentang hantu merupakan pembahasan yang penting karena berhubungan erat dengan aqidah. Namun, pembahasan ini cukup jarang yang mengupasnya terlebih pembahasan yang berlandaskan dalil. Oleh karenanya, kami merasa perlu untuk membahasnya sebab banyaknya keracunan seputar masalah ini, bahkan ada anggapan sebagian kalangan bahwa Islam tidak membahas tentangnya, bahkan ada yang melampaui batas sehingga menganggap bahwa hantu adalah salah satu Tuhan(!). Maha Suci Allah Ta’ala dari ucapan mereka.[1] 

Nah, tulisan ini akan lebih difokuskan pada hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membicarakan tentang “hantu” karena dalam sebagian hadits ada penjelasan tentang adanya hantu tetapi dalam hadits lain ada penjelasan bahwa hantu itu tidak ada. Lantas, bagaimana cara mengkompromikannya?!!

TEKS HADITS

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak ada penyakit menular, thiyarah (merasa sial), dan ghul (hantu).’”

SHAHIH. Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2222, Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar no. 25, Ali bin Ja’ad dalam Musnad-nya no. 2693, al-Baghawai dalam Syarhus Sunnah no. 3251, Ahmad dalam Musnad-nya 3/293, Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah no. 281, ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar 1/340 seluruhnya dari jalur Abu Zubair dari Jabir.

Dan riwayat Abu Zubair dari Jabir adalah lemah, sebab Abu Zubair adalah seorang mudallis (menyembunyikan cacat) dan dia meriwayatkan dengan lafazh ‘an (dari). Namun, hadits ini shahih karena dalam jalur lain telah ditegaskan bahwa Abu Zubair mendengar langsung dari Jabir, sebagaimana dalam jalur Ibnu Juraij dalam riwayat Ibnu Jarir dalam Tahdzibul Atsar no. 26, ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar 1/340, Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah no. 268, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 6095.

Hadits ini sangat jelas menunjukkan penafian (peniadaan) adanya ghul. Apa yang dimaksud dengan ghul? Berikut ini ungkapan beberapa ucapan ulama dan ahli bahasa tentangnya :
  • Ibnu Duraid berkata, “Ghul menurut orang Arab adalah tukang sihir dari kalangan setan dan jin. Inilah pendapat al-Ashma’i.”[2]
  • Ibnul Manzhur berkata, “Ghul adalah penyihir dari jin.”[3]
  • Ibnul Katsir rahimahullah berkata, “Ghul dalam bahasa Arab artinya jin yang tampak di malam hari.”[4]
  • Al-Jahidz berkata, Ghul adalah ungkapan untuk jin yang mengganggu orang yang berpergian dan menjelma dalam beberapa bentuk, baik berjenis pria atau wanita.”[5]

Dari sini dapat kita ketahui bahwa hantu (ghul) bukanlah arwah gentayangan atau orang mati yang bisa hidup kembali arwahnya untuk balas dendam, karena semua itu adalah khurafat yang batil, sejenis dengan reinkarnasi yang merupakan aqidah orang-orang kafir yang dibatalkan oleh Islam.

SEKILAS BERTENTANGAN 

Hadits diatas menunjukkan bahwa hantu itu tidak ada, namun dalam hadits lainnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan adanya hantu, diantaranya adalah hadits Abu Ayyub sebagai berikut :

Dari Abu Ayyub bercerita bahwa dirinya memiliki sebuah rak/lemari kecil, lalu hantu datang seraya mengambil (baca: mencuri) isinya. Akhirnya beliau mengeluhkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Apabila kamu melihatnya maka katakanlah, : ‘Dengan nama Allah, penuhilah Rasulullah.’” Ketika hantu itu datang lagi, maka Abu Ayyub mengatakan seperti yang dipesankan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menangkapnya, tetapi hantu itu mengatakan, “Saya berjanji tidak akan datang lagi kemari.” Mendengarnya, Abu Ayyub melepaskannya. Ketika dia bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi bertanya kepadanya, “Apa yang diperbuat oleh tawananmu?” Abu Ayyub menjawab, “Saya menangkapnya tetapi dia berjanji padaku untuk tidak kembali lagi sehingga saya lepaskan lagi.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia akan kembali lagi.” (Kata Abu Ayyub:) Saya telah menangkapnya dua atau tiga kali tetapi dia selalu berjanji padaku untuk tidak kembali lagi. Suatu saat ketika saya menangkapnya, dia mengatakan kepadaku, “Lepaskanlah aku dan saya akan mengajarkan kepadamu sebuah ungkapan yang jika engkau membacanya niscaya engkau tidak diganggu oleh setan yaitu bacaan Ayat Kursi.” Abu Ayyub lalu datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengabarkan omongan hantu tersebut, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia benar dalam hal ini, padahal dia adalah pembohong.”

SHAHIH. Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi no. 2880, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 10/397-398, ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir no. 4011, Abu Nu’aim dalam Dalail Nubuwwah hlm. 526, al-Hakim dalam al-Mustadrak 3/459, ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar 5/423.

Hadits ini memiliki banyak jalur dan penguat dari hadits Ka’ab bin Malik, Abu Hurairah, Muadz bin Jabal, Buraidah, Abu Usaid as-Sa’idi, dan sebagainya. Oleh karenya, Imam Hakim berkata, “Hadits-hadits ini apabila dikumpulkan maka menjadi hadits yang masyhur.” Dan Imam Dzahabi berkata mengomentari hadits diatas, “Ini adalah jalur hadits ini yang paling bagus.” Dan dishahihkan Syaikh Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2880.

Hadits ini dan hadits-hadits lainnya menunjukkan tentang adanya hantu.[6] Hal ini diperkuat oleh ucapan sebagian ulama bahwa banyak para sahabat yang melihat hantu, diantaranya adalah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu[7] Imam Qurthubi rahimahullah juga berkata, “Mayoritas orang Arab banyak bercerita dan mengaku bahwa mereka pernah melihat hantu.”[8] 

Dan dalam hadits ini terdapat faedah lainnya yaitu mungkinkah seorang untuk melihat jin dan hantu tetapi bukan dengan bentuk asli mereka dan bahwasanya hantu bisa berubah-rubah wujudnya[9] karena mereka adalah tukang sihir dari kalangan jin sebagaimana kata Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Tidak ada seorang pun yang bisa berubah dari wujud asli ciptaan Allah, tetapi pada mereka (jin) terdapat tukang sihir seperti pada kalian (manusia). Karena itu, jika kalian melihat hantu maka kumandangkan adzan.”[10] 

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Banyak sekali hadits yang menunjukkan bahwa mereka bisa berubah wujud. Ahli kalam berselisih tentang hal itu. Ada yang berpendapat bahwa itu hanya fiktif / khayalan belaka dan tidak ada yang bisa berubah wujud. Dan ada yang berpendapat bahwa mereka bisa berubah wujud tetapi bukan dengan kemampuan mereka namun dengan melakukan ritual-ritual seperti sihir.”[11]

MENGURAI BENANG KUSUT 

Bila kita cermati dua hadits diatas, sekilas nampak ada kontradiksi, sebab di satu sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan adanya ghul (hantu), tetapi di sisi lain beliau juga menetapkan wujudnya. Oleh karena itu, para ulama berusaha untuk menjelaskan duduk permasalahan tersebut dan pendapat mereka terpolar menjadi tiga pendapat :

Pendapat pertama : Hantu itu tidak ada wujudnya
Mereka mengatakan : Hantu hanyalah untuk menakuti-nakuti saja tetapi sebenarnya wujud mereka tidak pernah ada. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Mabrid, Abdurrahman al-Maidani, dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha beliau mengatakan, “Pendapat yang kuat dan masuk akal bahwa hantu itu hanyalah fiktif dan khayalan belaka yang tidak ada faktanya. Bisa jadi orang yang melihatnya karena melihat hewan yang aneh seperti kera.”[12] 

Namun, pendapat ini lemah sebab bertentangan dengan hadits Abu Ayyub dan atsar umar bin Khaththab    diatas.

Pendapat kedua : Hantu pernah ada kemudian sudah tidak ada lagi
Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Thahawi, beliau mengatakan setelah membawakan hadits Abu Ayyub , “Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan adanya hantu, namun dalam hadits-hadits sebelumnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakannya. Mungkin seorang akan mengatakan bahwa ini adalah kontradiksi antara hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita jawab : Tidak ada kontradiksi antara keduanya karena bisa jadi hantu memang ditetapkan dalam hadits Abu Ayyub , namun setelah itu diangkat oleh Allah sebagaimana dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu. Inilah metode yang paling baik untuk mengkompromikan antara hadits-hadits ini.” [13] Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Malik.[14] 

Namun, pendapat ini juga lemah karena tidak ada dalil yang jelas akan adanya nasikh mansukh (ada yang menghapus dan dihapus).

Pendapat ketiga : Pendapat yang kuat
Mayoritas ulama mengatakan bahwa maksud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Tidak ada ghul” bukan berarati tidak ada wujud hantu, tetapi maksud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah meniadakan kepercayaan dan khurafat yang beredar di masa jahiliah (hingga sekarang) bahwa hantu makan manusia, menyesatkan manusia di jalan, bebas menjelma seenaknya, dan sebagainya.

Pendapat ini adalah pendapat yang lebih kuat ditinjau dari beberapa alasan sebagai berikut :
  1. Tidak terbukti secara syar’i, akal, dan fakta bahwa hantu memakan manusia, penampakan di lembah-lembah seperti khurafat-khurafat yang beredar.
  2. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengiringkan peniadaan hantu dengan peniadaan penyakit menular, bulan Shafar, dan thiyarah (merasa sial) padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menetapkan adanya penyakit menular, sehingga para ulama menjelaskan bahwa maksud ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tidak ada penyakit menular yakni keyakinan jahiliah bahwa penyakit itu menular dengan sendirinya, bukan berarti tidak ada penyakit menular sama sekali.[15]
Ibnu Jarir ath-Thabari mengatakan, “Dalam sabda Nabi ‘Tidak ada ghul/hantu’ terdapat penjelasan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan kepercayaan jahiliah tentang hantu bahwa mereka bisa menolak bahaya dan memberikan manfaat tanpa campur tangan Allah. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengiringkannya dengan kepercayaan bangsa Arab lainnya bahwa hal-hal tersebut bisa membahayakan dan bermanfaat dengan sendirinya seperti penyakit menular, bulan Shafar, dan thiyarah.”[16]
  1. Imam Nawawi berkata, “Mayoritas ulama mengatakan, ‘Bangsa Arab berkeyakinan bahwa hantu dari jenis setan di lembah-lembah bisa menjelma dengan berbagai bentuk lalu menyesatkan jalan mereka lalu membinasakan mereka.’ Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan hal itu. Ulama lainnya mengatakan, ‘Maksud hadits ini bukanlah peniadaan wujudnya hantu, melainkan maksudnya adalah membatalkan keyakinan orang Arab bahwa hantu bisa menjelma dalam berbagai bentuk lalu menyesatkan manusia.’”[17]
  2. Dalam beberapa hadits dari Abu Ayyub, Ubai bin Ka’ab, dan sebagainya ditunjukkan bahwa maksud peniadaan dari hantu adalah bukan peniadaan wujud mereka, melainkan keyakinan orang Arab tentang hantu. As-Suhaili berkata, “Makna ‘Tidak ada ghul/hantu’ adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan keyakinan jahiliah seputar dongeng-dongeng dan khurafat tentang hantu.”[18] Al-Baghawi juga berkata, “Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Tidak ada ghul/hantu’ bukanlah berarti tidak ada wujud hantu, melainkan maksudnya adalah tidak ada kepercayaan Arab yang mengatakan bahwa hantu bisa menjelma kepada manusia dengan berbagai bentuk lalu menyesatkan mereka dan membinasakan mereka. Syari’at mengabarkan bahwa hantu tidak mungkin bisa melakukan semua itu berupa penyesatan dan kebinasaan kecuali dengan izin Allah.”[19]

BENTENG DIRI DARI GANGGUAN HANTU 

Syari’at Islam telah sempurna, tidak ada suatu kebajikan apa pun kecuali telah dijelaskan dan tidak ada suatu keburukan pun kecuali telah diperingatkan. Di antara hal yang dijelaskan oleh Islam adalah kiat-kiat agar terhindar dari gangguan hantu. Bagaimana caranya? Ikutilah petunjuk berikut :
    • 1.      Membaca nama Allah
      Dalam hadits Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu diatas dikisahkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

      “Katakanlah bismillahi (dengan nama Allah), penuhilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”

        • 2.      Membaca Ayat Kursi
          Dalam hadits  Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu diatas juga disebutkan bahwa hantu yang ditangkapnya mengatakan pada Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, “Lepaskanlah aku dan saya akan mengajarkan kepadamu sebuah ucapan yang jika engkau membacanya niscaya engkau tidak diganggu oleh setan yaitu bacaan Ayat Kursi.”. Abu Ayyub  lalu datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengabarkan omongan hantu tersebut, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia benar dalam hal ini, padahal dia adalah pembohong.”

            • 3.      Berdzikir dan melakukan ketaatan
              Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
              “Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya Surat al-Baqarah.” (HR. Muslim : 1860).

              At-Turkumani pernah bercerita bahwa salah seorang gurunya sering diganggu oleh hantu ketika malam hari sehingga  melempari batu dan membuat penghuni rumah takut, lalu beliau dan rekannya pergi ke rumah sang guru dan membaca Surat al-Baqarah secara sempurna kemudian berdoa. Setelah itu, rumah tersebut tidak lagi diganggu oleh hantu. Semua itu adalah karena keberkahan al-Qur’an.[20]

                • 4.      Menghilangkan  rasa takut terhadap hantu
                  Inilah wasiat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu tatkala mengatakan, “Buatlah hantu takut kepada kalian sebelum mereka membuat kalian takut.”.[21]

                    • 5.      Tidak bergadang larut malam
                      Hal ini berdasarkan hadits :

                      “Janganlah kalian bergadang ketika malam sudah sunyi/hening, karena kalian tidak tahu apa yang Allah datangkan dari makhluk-Nya.”[22]

                        • 6.      Mengumandangkan adzan
                          Ada beberapa hadits yang lemah tentang masalah ini, tetapi ada hadits shahih yang dijadikan dasar oleh ulama dalam masalah ini yaitu :

                          “Sesungguhnya apabila muadzin mengumandangkan adzan maka setan akan lari dengan terkentut-kentut.”[23]

                          Abu Awanah mengatakan setelah meriwayatkan hadits ini, “Dalam hadits terdapat dalil bahwa seorang apabila merasa ada hantu atau mendapati orang yang kesurupan lalu dia adzan maka setan akan lari darinya.” Dan ini juga didukung oleh atsar Umar bin Khaththab yang lalu, karena atsar tersebut adalah shahih dan sekalipun hanya sampai kepada Umar (mauquf) namun hukumnya marfu’ (sampai kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam).

                          Demikianlah pembahasan singkat tentang hantu. Kita berdoa kepada Allah agar menjaga kita semua dari godaan setan yang terkutuk dan memberikan kepada kita semua kebahagiaan dan ketenteraman di dunia dan akhirat. Amin ya Rabbal ‘alamin.

                          Sumber: Majalah Al Furqon edisi: 9 no. 123 thn. 11 Robi’ul Akhir 1433H/Feb-Mar 2012M


                          [1]   Para ulama telah menulis secara khusus tentang masalah “hantu” seperti Muhammad bin Ahmad bin Thulun ash-Shalihi (wafat 953 H) dalam bukunya Bughyatus Sul fi Ma Warada fil Ghul sebagaimana dalam al-Fuluk al-Maskhun fi Ahwali Muhammad bin Thulun hlm. 30 dan at-Tadzkirah at-Taimuriyyah hlm. 292. dan pada zaman sekarang, Syaikhuna Masyhur bin Hasan alu Salman telah menulis buku berjudul al-Ghul Bainal Hadits Nabawi wal Mauruts Sya’bi cet. Dar Ibnul Qayyim, KSA, cet. Pertama, 1409 H. Dan dalam pembahasan ini, kami banyak mengambil manfaat dari buku beliau tersebut beserta nukilan-nukilan lainnya. Perhatikanlah!!
                          [2]   Jamharatul Lughah 3/150
                          [3]   Lisanul Arab 11/510
                          [4]   Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim 1/313
                          [5]   Al-hayawan 6/442
                          [6]   Sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari 4/489, al-Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah 7/121, Ibnu Katsir dalam tafsir-nya 1/314 dan al-Mubarokfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi 8/185.
                          [7]   Seperti diceritakan oleh al-Qazwini dalam ’Ajaibul Makhluqat 2/176-177, ad-Damiri dalam Hayatul Hayawan al-Kubra 2/196, al-Mas’udi dalam Muruj Dzahab 2/169.
                          [8]   Lihat Tafsir al-Qurthubi 15/87.
                          [9]   Oleh karena itu, dari berbagai riwayat hadits Abu Ayyub bahwa hantu itu berwujud seekor kucing lalu berubah menjadi nenek tua. Dalam hadits Ubai bin Ka’ab hantu itu berwujud bocah kecil bertangan dan berambut anjing. Dalam hadits Mu’adz hantu itu berwujud gajah.
                          [10]  Shahih. Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf 5/162, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 10/397, Ibnu Hazm dalam al-Fishal 5/5. al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fat-hul Bari (6/344), “Sanadnya shahih.”
                          [11]  Fat-hul Bari 6/344
                          [12]  Tafsir al-Manar 7/526. lihat pula al-Hayawan 6/472 oleh ad-Damiri, Dhawabith al-Ma’rifahi wa Ushul Istidlal wal Munazharah hlm. 31 oleh Abdurrahman al-Maidani, dan Bulughul ‘Arab 2/348 oleh al-Alusi.
                          [13]  Musykilul Atsar 1/342 dan dinukil oleh al-Ubai dalam Ikmalu Ikmalil Mu’lim Syarh Shahih Muslim 6/40.
                          [14]  Mabariqul Azhar 1/238.
                          [15]  Lihat secara luas tentang masalah penyakit menular dalam tulisan kami “Penyakit menular antara ilmu hadits dan ilmu medis” di www.abiubaidah.com
                          [16]  Tahdzibul Atsar 1/36-37. lihat pula Ikmalu Ikmalil Mu’lim 6/40-41 oleh al-Ubai, Faidhul Qadir 6/434 oleh al-Munawi.
                          [17]  Syarh Shhih Muslim 14/216.
                          [18]  Ar-Raudh al-Anif 7/295, 296. Lihat pula Khizanatul Adab 11/314 oleh al-Baghdadi, al-Fathur Rabbani 17/194 oleh as-Sa’ati.
                          [19]  Syarhus Sunnah 12/173.
                          [20]  Lihat al-luma’ fil hawadits wal Bida hlm. 436-437.
                          [21]  Hasan. Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf : 9250, Abu Ubaid dalam Gharibul Hadits 3/325 dan dihasankan oleh Syaikhuna Masyhur bin Hasan Salman dalam kitabnya al-Ghul hlm. 116. dan lihat makna atsar ini dalam an-Nihayah fi Gharibil Hadits 2/6 oleh Ibnul Atsir, Gharibul Hadits 1/210-211 oleh al-Khaththabi, al-Fa’iq 4/103 oleh az-Zamakhsyari.
                          [22]  Hasan. Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak 4/284 seraya mengatakan, “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim, tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Dan disetujui oleh adz-Dzahabi, tetapi Syaikh al-Albani hanya menyatakan hasan dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 4/346.
                          [23]  HR. Muslim 883, Ad-Daraquthni dalam al-Mu’talif wal Mukhtalif 2/962 dan Abu Awanah dalam Musnad-nya 1/334-335.


                          Sumber: http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/  

                          Baca artikel: Perbedaan Antara Jin, Setan dan Iblis

                          Category: Akidah

                          0 comments:

                          Post a Comment